Raja Ampat Milik Umat, Bukan Milik Korporat! Menggugat Liberalisasi Sumber Daya Alam

Di balik pesona Raja Ampat, ada pengkhianatan terstruktur. Atas nama investasi, surga dunia ini dijual kepada korporasi dalam sistem Kapitalisme. Padahal, dalam Islam, sumber daya alam seperti ini adalah milik umum (milkiyyah 'ammah) yang haram diprivatisasi dan harus dikelola negara untuk kesejahteraan seluruh rakyat.

Kang Nurdin

Kang Nurdin

Digital Branding

1751883087307 5 min read 110 views

Surga Dunia yang Dijual Murah

Siapa yang tak kenal Raja Ampat? Potongan surga yang jatuh ke bumi, dengan gugusan pulau karst, laut biru toska, dan kekayaan bawah laut yang memukau dunia. Media melukiskannya sebagai mahakarya alam, destinasi impian. Namun, di balik pesonanya, ada pertanyaan fundamental yang sengaja diabaikan: Untuk siapa surga ini diciptakan? Dan siapa yang hari ini meraup keuntungannya?

Ketika kita melihat resort-resort mewah dengan tarif jutaan rupiah per malam menjamur, sementara masyarakat lokal seringkali hanya menjadi penonton, kita harus sadar. Raja Ampat bukan lagi sekadar keajaiban alam, ia telah menjadi komoditas mahal yang diperjualbelikan dalam etalase sistem Kapitalisme. Inilah realitas pahit dari liberalisasi sumber daya alam—sebuah pengkhianatan terstruktur terhadap hak umat.

Mari kita bedah masalah ini secara ideologis, bukan sekadar emosional.

1. Jebakan 'Investasi' dan 'Pembangunan'

Atas nama “investasi”, “pembangunan pariwisata”, dan “pertumbuhan ekonomi”, penguasa dalam sistem sekuler-kapitalis dengan mudahnya membuka pintu bagi korporasi—baik lokal maupun asing—untuk menguasai dan mengeksploitasi Raja Ampat. Mereka membangun hotel dan resort eksklusif yang membatasi akses publik. Laut dan pantai yang seharusnya bisa dinikmati siapa saja, kini diprivatisasi dan diberi label harga yang tak terjangkau oleh rakyat biasa.

Logikanya sederhana: dalam Kapitalisme, segala sesuatu yang memiliki potensi keuntungan harus diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Negara tidak berperan sebagai pelindung aset umat, melainkan sebagai fasilitator atau broker bagi para kapitalis. Hasilnya? Kekayaan alam yang melimpah hanya dinikmati segelintir pemilik modal, sementara rakyat hanya kebagian remah-remahnya, atau bahkan terusir dari tanah leluhurnya sendiri. Ini bukanlah pembangunan, ini adalah penjarahan yang dilegalkan.

2. Akar Masalah: Aqidah Kapitalisme yang Merusak

Masalah ini bukan sekadar kebijakan yang salah, tetapi buah dari sebuah sistem yang rusak dari akarnya. Sistem Kapitalisme berdiri di atas aqidah sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Konsekuensinya, aturan tentang kepemilikan tidak lagi merujuk pada wahyu Allah SWT, melainkan pada hawa nafsu manusia yang serakah.

Dalam pandangan Kapitalisme, sumber daya alam adalah properti yang bebas dimiliki individu atau swasta. Siapa punya modal, dia berhak menguasai. Inilah yang disebut liberalisasi, yaitu pembebasan aset-aset publik untuk dikuasai swasta. Akibatnya, hutan, tambang, energi, hingga lautan dan pulau-pulau indah seperti Raja Ampat, dianggap sebagai kue yang bebas diperebutkan. Negara, dalam sistem ini, hanya menjadi wasit yang memastikan para kapitalis bermain sesuai aturan mereka, bukan penjaga hak-hak rakyat.

3. Solusi Islam: Kepemilikan Umum (Milkiyyah 'Ammah) untuk Kesejahteraan Umat

Islam menawarkan solusi yang adil dan mensejahterakan, yang bersumber dari wahyu, bukan dari keserakahan. Islam secara tegas mengatur konsep kepemilikan menjadi tiga: kepemilikan individu (milkiyyah fardiyyah), kepemilikan negara (milkiyyah dawlah), dan kepemilikan umum (milkiyyah 'ammah).

Raja Ampat, dengan lautan, pulau-pulau, dan segala kekayaan di dalamnya, termasuk dalam kategori kepemilikan umum. Artinya, ia adalah milik seluruh umat (rakyat), bukan milik individu, korporasi, apalagi negara untuk dijual. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang rumput (hutan), air, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Para ulama memperluas cakupan hadis ini pada segala sumber daya alam yang sifatnya menjadi hajat hidup orang banyak. Dalam sistem Khilafah, negara berperan sebagai pengelola, bukan pemilik. Negara akan memastikan sumber daya alam ini dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat. Bagaimana caranya?

  • Tidak Boleh Diprivatisasi: Khilafah haram hukumnya menyerahkan pengelolaan aset milik umum kepada swasta atau asing.
  • Pengelolaan oleh Negara: Negara yang akan mengelolanya secara langsung. Hasilnya 100% masuk ke kas negara (Baitul Mal).
  • Hasilnya untuk Rakyat: Seluruh pendapatan dari pengelolaan Raja Ampat dan sumber daya alam lainnya akan digunakan untuk membiayai kebutuhan primer rakyat secara gratis atau murah, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dengan demikian, kekayaan alam benar-benar kembali kepada pemilik sejatinya, yaitu umat.

Penutup: Saatnya Kembali pada Aturan Pemilik Alam Semesta

Jelas sudah, masalah eksploitasi Raja Ampat bukanlah sekadar persoalan teknis, melainkan pertarungan ideologis. Selama kita masih tunduk pada sistem Kapitalisme, selama itu pula kekayaan alam kita akan terus dijarah atas nama 'investasi' dan 'pembangunan'. Mengganti rezim tanpa mengganti sistemnya hanyalah ilusi.

Satu-satunya jalan keluar adalah dengan mencampakkan sistem kufur ini dan kembali kepada aturan dari Sang Pencipta alam semesta, Allah SWT. Sudah saatnya umat ini sadar bahwa kemuliaan dan kesejahteraan hanya akan terwujud dengan penerapan syariah Islam secara kaffah di bawah naungan Daulah Khilafah.

Perjuangan mengembalikan Raja Ampat ke pangkuan umat adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan menegakkan kembali syariah dan Khilafah. Inilah jalan kebangkitan yang hakiki.

Share this article